Alaku
Alaku

Prof. Dr. Ir. Abdul Hamid, MP Catatan Akhir Tahun

Bengkulu aktualklick.com Menjelang pergantian tahun, ruang publik selalu dipenuhi deretan capaian: pertumbuhan ekonomi, indeks pembangunan, keberhasilan kebijakan, atau daftar target yang belum tuntas. Di tengah semua perhitungan itu, ada satu hal yang jarang masuk dalam statistik—sesuatu yang pelan namun pasti terus bergerak: usia manusia.

Setiap akhir tahun, kalender baru menandai bukan hanya pergantian waktu, tetapi juga perjalanan usia yang semakin bertambah. Dan tanpa disadari, kita semua sedang berjalan menuju arah yang sama: kedewasaan yang terus menua.

Alaku

Waktu yang Berjalan Tanpa Suara

Waktu memang tak berbunyi. Ia tidak menegur, tidak berteriak, tetapi pelan-pelan mengubah segalanya. Banyak orang merasa baru kemarin duduk di bangku kuliah, memulai karier, atau merangkai rencana besar hidup. Namun ketika menoleh ke belakang, tahun-tahun itu telah jauh tertinggal. Teman-teman sebaya mulai menapaki masa pensiun, anak-anak tumbuh dewasa, dan tubuh yang dulu kuat kini mulai memberi tanda-tanda lelah. Perubahan itu begitu halus, hingga sering kali tak terasa sampai kita dihadapkan pada kenyataan: kita tidak lagi muda. Rambut yang memutih, langkah yang melambat, dan tenaga yang cepat habis menjadi pengingat bahwa waktu tidak pernah berhenti. Pada titik inilah manusia belajar bahwa hidup tidak semata tentang kecepatan mengejar sesuatu, tetapi tentang kesadaran dalam menjalani hari. Hidup yang dulunya penuh ambisi perlahan berubah menjadi perjalanan menuju pemaknaan.

Dunia dan Keterbatasan Waktu

Kitab suci Al-Qur’an pernah mengingatkan,

“Dan kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20)

Ayat ini bukan seruan untuk meninggalkan dunia, tetapi ajakan agar manusia menempatkan dunia secara proporsional. Dunia adalah tempat berikhtiar dan memberi makna, bukan tujuan akhir perjalanan.Ketika usia bertambah, perspektif terhadap dunia ikut berubah. Hal-hal yang dulu dianggap penting—jabatan, prestasi, kekayaan—pelan-pelan kehilangan daya tariknya. Ambisi yang dulu membara kini mereda. Ego yang dulu keras kini melunak. Dan perhatian kita beralih pada hal-hal sederhana: kesehatan, kebersamaan, rumah yang nyaman, dan waktu bersama keluarga.Kita mulai menyadari bahwa ketenangan tidak selalu lahir dari banyaknya kepemilikan, tetapi dari kemampuan bersyukur atas apa yang masih dimiliki.

Dari Kecepatan Menuju Kebermaknaan

Masa muda sering kali diwarnai oleh semangat berlari. Kita mengejar target, menumpuk rencana, ingin lebih cepat dari yang lain. Namun, memasuki usia matang, manusia justru mulai belajar untuk berjalan lebih perlahan. Pelan bukan berarti berhenti, melainkan memberi ruang bagi refleksi. Kita mulai bertanya pada diri sendiri: sejauh apa perjalanan ini membawa makna? Seberapa besar manfaat keberadaan kita bagi sekitar?

Rasulullah SAW pernah bersabda,

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad)

Hadis ini memberi ukuran baru dalam menilai kesuksesan. Ukuran itu tidak lagi sekadar prestasi pribadi, melainkan kontribusi terhadap sesama. Sebab pada akhirnya, yang abadi bukanlah apa yang kita kumpulkan, melainkan apa yang kita berikan.

Menemukan Nilai dalam Sederhana

Dalam banyak kisah kehidupan, orang-orang yang tampak paling tenang justru bukan mereka yang paling kaya, tetapi yang paling berdamai dengan diri sendiri. Mereka yang telah melewati berbagai fase hidup dan kini menemukan kedamaian dalam kesederhanaan. Kedamaian itu lahir dari penerimaan. Penerimaan bahwa tidak semua rencana bisa diwujudkan, tidak semua keinginan bisa tercapai, dan tidak semua perjalanan berjalan sesuai harapan. Dalam kesadaran akan keterbatasan, manusia justru belajar tentang kelapangan hati. Usia mengajarkan satu hal penting: hidup tidak bisa dikendalikan sepenuhnya. Yang bisa kita kendalikan hanyalah cara kita meresponsnya—dengan ikhlas, sabar, dan tetap berbuat baik.

Menyimak Arti Waktu

Ada pepatah yang mengatakan, “Waktu adalah guru yang keras.” Ia tidak memberi banyak nasihat, tetapi perlahan mengajari lewat pengalaman. Kita belajar dari kehilangan, dari kegagalan, dari kepergian orang-orang tercinta, dan dari momen-momen hening yang membuat kita merenung.Di setiap perjalanan usia, manusia dihadapkan pada pilihan: apakah ia akan menjadi lebih pahit, atau lebih bijak. Perbedaan antara keduanya terletak pada cara kita memahami waktu. Waktu bisa menjadi beban, bila kita terus menyesali masa lalu. Tapi waktu juga bisa menjadi berkah, bila kita memanfaatkannya untuk memperbaiki diri, memperkuat hubungan, dan menebar manfaat.

Akhir Tahun Sebagai Momentum

Akhir tahun kerap diisi dengan perayaan, pesta, dan kembang api. Semua itu sah-sah saja, selama tidak melupakan maknanya. Di balik gemerlap malam tahun baru, terselip kesempatan emas untuk berhenti sejenak—menoleh ke belakang, mengevaluasi diri, dan menata ulang arah hidup.Apakah selama setahun terakhir kita telah menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri? Apakah kita sudah cukup berterima kasih atas hal-hal kecil yang sering luput dari perhatian? Apakah kita sudah berbuat sesuatu yang berarti untuk orang lain? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini layak muncul di penghujung tahun. Sebab tanpa refleksi, waktu hanya berlalu tanpa meninggalkan makna.

Usia dan Ketenangan Batin

Menjadi tua bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan babak baru untuk menemukan kebijaksanaan. Pada tahap ini, banyak orang mulai menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada hasil, tetapi pada ketulusan dalam menjalani proses. Ketenangan hati tidak muncul dari capaian, tetapi dari kemampuan menerima hidup sebagaimana adanya. Dari kesediaan untuk memaafkan, melepaskan, dan mensyukuri. Ketika fisik mulai melemah, semoga hati justru semakin kuat. Ketika tenaga berkurang, semoga kasih sayang bertambah. Sebab kebijaksanaan sejati lahir dari pengalaman yang diolah dengan kesadaran, bukan dari usia yang sekadar bertambah.

Jejak yang Ditinggalkan

Setiap manusia akan meninggalkan sesuatu—entah karya, kenangan, nilai, atau teladan. Dalam konteks sosial, inilah yang disebut jejak eksistensi. Kita mungkin tak bisa mengubah dunia secara besar, tetapi kita selalu bisa memberi makna di lingkaran kecil kita: keluarga, lingkungan, atau pekerjaan. Tugas manusia bukanlah mengejar keabadian, tetapi menanam kebaikan. Suatu hari nanti, waktu akan berhenti untuk kita semua. Namun selama hidup masih diberikan, selalu ada ruang untuk memperbaiki niat, menumbuhkan empati, dan menebar manfaat. Pada akhirnya, usia hanyalah angka. Yang lebih penting adalah isi dari setiap angka itu: apa yang sudah dilakukan, siapa yang telah dibantu, dan nilai apa yang ditinggalkan.

Menjadi Tua dengan Bermartabat

Menjadi tua bukan sesuatu yang perlu ditakuti. Ia adalah proses alami yang justru mengajarkan kedewasaan dan kebijaksanaan. Dalam masyarakat yang sering kali menyanjung yang muda dan cepat, menjadi tua dengan bermartabat adalah bentuk perlawanan yang elegan: perlawanan terhadap budaya instan, terhadap lupa diri, dan terhadap ketidakpedulian. Mereka yang menua dengan hati yang tenang, dengan pikiran yang jernih, dan dengan tangan yang masih ingin berbagi—adalah contoh nyata bahwa hidup tidak diukur dari panjangnya waktu, melainkan dari kedalaman makna. Kita tidak bisa menambah panjang umur, tetapi kita bisa memperkaya setiap hari dengan kebaikan.

Menutup Tahun dengan Renungan

Tahun akan berganti, seperti siklus alam yang terus berjalan. Namun setiap pergantian membawa pesan: waktu yang lewat tidak akan kembali. Yang tersisa hanyalah kenangan, hikmah, dan kesempatan untuk memperbaiki diri. Maka, ketika usia mengajak kita menoleh ke belakang, janganlah yang terlihat hanya penyesalan, tetapi juga rasa syukur. Syukur karena masih diberi waktu untuk belajar, memperbaiki, dan memberi makna bagi sekitar. Hidup bukan tentang berapa lama kita berjalan, melainkan tentang arah yang kita pilih. Dan setiap langkah yang disertai kesadaran akan usia, waktu, dan makna—adalah langkah menuju kebijaksanaan yang sejati.

Catatan akhir:

Akhir tahun adalah momen yang baik untuk mengingat bahwa hidup bukan sekadar tentang mengejar apa yang belum dimiliki, tetapi juga mensyukuri apa yang telah dijalani. Usia bukan tanda berakhirnya energi, tetapi awal dari kedalaman makna. Semoga di tahun yang baru, kita tidak hanya bertambah tua, tetapi juga bertambah bijak, lembut, dan bermanfaat bagi sesama.

Oleh : Prof. Dr. Ir. Abdul Hamid, MP

Alaku

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *